Keluarga Abbasiyah
Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdi Manaf meninggalkan beberapa orang putera. Diantaranya Abdullah (ayahanda Nabi Muhammad), Abbas dan Abu Talib. Akan tetapi yang mempunyak keturunan banyak hanyalah Abbas dan Abu Thalib. Mereka berdua menurunkan keluarga besar yang tersebar seantero Daulat Islam, dari ujung Barat Afrika-Utara sampai ke negeri-negeri Asia-Tengah.
Abbas dilahirkan tiga tahun sebelum tanuh gajah. Berarti lebih tua tiga tahun dari Rasulullah. Ibunya bernama Nutailah binti Janab. Abbas seorang pemuka Bani Hasyim dan seorang cendikia suku Quraisy. Ia sahabat karib Abu Sufyan bin Harb. Dikala agama Islam mulai disiarkan Nabi, dia menjadi penolong Nabi yang mukhlis. Ia dimuliakan dan dicintai Rasulullah s.a.w. dan Khalifah-khalifah setelahnya. Ia wafat pada masa pemerintahan Utsman bin Affan.
Abdullah bin Abbas adalah putera kedua dari Abbas. Ia lahir dua tahun sebelum Hijrah. Ketika Nabi wafat umurnya baru tiga belas tahun. Ia kekasih dan kesayangan Nabi. Di zaman Umar bin Khattab ia menjadi anggota dewan penasehat Khalifah yang istimewa. Sekalipun ketika itu usianya masih amat muda, tapi kerap kali Umar menanyakan hukum-hukum dan berbagai masalah kepadanya. Dari keturunan Abdullah inilah lahir keluarga Abbasiyah, dan saudara-saudaranya yang lain tidak mempunyai keturunan.
Ali bin Abdullah adalah salah satu putera Abdullah. Ia lahir dimalam terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Talib. Untuk memperingati kematian itu maka Abdullah memberi nama puteranya dengan Khalifah itu.
Muhammad bin Ali adalah sulung dari 20 putera laki-laki Muhammad dan 11 putera wanitanya. Dia inilah ayahanda Ibrahim al-Imam, Abul Abbas Assafah dan Abu Ja’far al-Manshur. Dan tiga putera Muhammad inilah yang menjadi tulang-punggung Daulat Abbasiyah.
Zaman Keemasan Daulat Abbasiyah
Lima Abad lamanya keluarga Abbasiyah menduduki singgasana Khalifah Islam, mulai dari tahun 132 H. (749 M.) yaitu tahun dikukuhkannya Abul Abbas Assafah, sampai jatuhnya Baghdad oleh serbuan orang Mongol-Tartar dibawah kepemimpinan Hulako pada tahun 656 M. (1258 M.).
Adapun masa Daulat Abbasiyah dari permulaannya sampai ke zaman Khalifah al-Watsiq Billah tahun 232 H. (879 M.) adalah masa kejayaan Daulat Bani Abbas, maka ketinggian dan kebesaran, maka itu adalah zaman keemasan Islam yang sangat gemilang.
1- ABUL ABBAS ASSAFAH
(132 – 136 H. = 749 – 754 M.)
Pada tanggal 13 Rabi’ul Awwal 132 H. (30 Oktober 749 M.), Abul Abbas Assafah dibai’at menjadi Khalifah yang pertama dari keluarga Abbasiyah di kota Kufah. Ketika itu Marwan bin Muhammad masih hidup. Baru pada tanggal 5 Agustus 750. (27 Dzulhijjah 132 H.( Khalifah Umayyah yang terakhir itu menemui ajalnya dalam pertempuran dengan tentara Abbasiyah di Alfayaum (Mesir). Tidak lama kemudian Abul Abbas Assafah pindah ke Hirah, kemudian ke Anbar dan kota ini kemudian dijadikan sebagai ibukota Khilafahnya, dengan nama Hasyimiyyatul Anbar, yang sekaligus menjadi peringatan bagi Kakek Bani Abbas, yaitu Hasyim.
Semula keluarga Abbasiyah ini akan mengambil Damaskus menjadi ibukota Khilafahnya, namun karena disana masih banyak pengikut keluarga Bani Umayyah, apalagi jauh dari Persia, pusat kekuasaan mereka, dan dengan dari batas Imperium Romawi Timur yang mungkin membahayakan daulatnya yang masih sangat muda itu, maka ia menjadikan kota baru itu sebagai ibukotanya.
Abul Abbas Assafah wafat pada tanggal 17 Dzulhijjah tahun 136 M. (9 Juni 754 M.) sesudah ia memerintah selam 4 tahun 9 bulan.2- ABU JA’FAR AL-MANSHUR
(136 – 158 H. = 754 – 775 M.)
Abu Ja’far Al-Manshur menjadi Khalifah sejak saudaranya Assafah wafat. Ia juga dipandang sebagai pendidi yang hakiki bagi Daulat al-Abbasiyah, karena dialah yang membuat dan merealisasikan tata negara Daulatnya.
Pada masanya kejayaan dan pekembangan ilmu pengetahuan berkembang pesar, maka dari itu pada masa berikutnya Daulat Bani Abbas mencapai masa kejayaannya. Pada masa itu juga berkembang pengaruh Persia, sehingga Khalifah-khalifah Bani Abbas mentransfer beberapa kebudayaan Persia, seperti adat-istiadat istana dan peraturan negara yang digunakan para Kisra Persia. Dalam Istanapun orang Perialah yang berpengaruh, Orang Arab makin lama semakin tersingkir.
Pada awal pemerintahannya Khalifah Al-Manshur menghadapi berbagai macam kesulitan yang dapat diatasinya dengan ketabahan dan keteguhan hatinya. Sifat-sifat inilah yang melangsungkan kemenangan Khalifah dalam segala usahanya. Diantara kesulitan yang dihadapi Al-Manshur adalah pendurhakaan pamannya sendiri yaitu Abdullah bin Ali, keingkaran Abu Muslim al-Khurrasani dan pemberontakan kelompok Alawiyyin.
Al-Manshur wafat pada tanggal 7 Dzulhijjah 158 H. (8 Oktober 775 M.). Ia digantikan oleh puteranya Al-Mahdi.
3- AL-MAHDI
(158 – 169 H. = 775 – 785 M.)
Khalifah Al-Mahdi memerintah selama 10 tahun. Masa pemerintahannya dipandang sebagai masa peralihan antara zaman kekerasan yang menjadi ciri Khalifah-khalifah Bani Abbas yang terdahulu kepada zaman sederhana dan lemah lembut yang menjadi perhiasan masanya dan Khalifah-khalifah kemudian.
Al-Mahdi memulai masa pemerintahannya dengan bermacam-macam perbaikan dan pembangunan, berkat harta peninggalan yang amat banyak semenjak zaman Abu Ja’far Al-Manshur.
Diantara usahanya ialah memdirikan bangunan-bangunan tempat air disepanjang jalan ke Mekkah untuk minuman kafilah yang berlalu, dan memperluas Masjidil Haram. Dia membeikan perbelanjaan tetap kepada orang lemah yang tak mampu lagi bekerja agar tidak mengemis.
Diantara Makkah, Madinah dan Yaman dibangun jawatan pos berunta dan berkuda, peraturannya disempurnakan. Al-Mahdi juga dikenal pemurah dan dermawan, sehingga sifatnya yang utama ini hampir mendekati sifat boros.
Pada 22 Muharram 169 H. (4 Agustus 785 M.) Khalifah Muhammad Al-Mahdi wafat. Ia berwasiat menurunkan pangkat Khalifah kepada dua orang putranya, yang pertama kepada Musa Al-Hadi dan kedua kepada Harun Arrasyid. Menurut wasiat Al-Mahdi itu pangkat Khalifah jatuh ke tangan Al-Hadi dan kemudian baru kepada Harun Arrasyid.4- MUSA AL-HADI
(169 – 170 H. = 785 – 786 M.)
Sebelum Al-Hadi dinobatkan sebagai Khalifah, ia banyak mempergunakan waktunya di negeri Masyrik. Di kala ia dinobatkan ia sedang berada disana menghadapi peperangan. Peristiwa yang telah banyak dialaminya di Masyrik itu, berpengaruh besar atas perjalanan siasat, akhlak serta budinya.
Pada tanggal 14 Rabi’ul Awwal 170 H. (13 September 786 M.) Khalifah Al-Hadi wafat pada umur 26 tahun sesudah memerintah setahun tiga bulan. Dia digantikan oleh saudaranya Harun Arrasyid.
Semula Al-Hadi bermaksud akan membatalkan hak saudaranya itu sebagai Putera Mahkota dan henadak membai’at puteranya sendiri (Ja’far). Maksudnya itu disetujui oleh pembesar-pembesar istananya. Hanya seorang dari mereka yang tidak menyetujuinya yaitu Yahya bin Khalid Al-Barmaky, yang berani menasehati, agar ia mengurungkan niatnya karena Ja’far masih kanak-kanak. Apa lagi ia wajib memuliakan janji yang telah diikrarkannya ketika ia dilantik menjadi Putera Mahkota oleh ayahandanya. Akan tetapi nasehat itu tdak diindahkannya, bahkan Yahya sendiri dimasukkan dalam penjara dan akan dibunuhnya. Tapi untung maksudnya itu tidak terlaksana karena ia menemui ajalnya.
5- HARUN ARRASYID
(170 – 193 H. = 786 – 809 M.)
Khalifah Harun Arrasyid dinobatkan sebagai Khalifah di hari wafatnya Al-Hadi. Ia adalah Khalifah yang paling terkenal diantara Khalifah Abbasiyah. Di zamannya kota Bagdad mencapai puncak kejayaannya, kemegahannya belum pernah ditemui sebelumnya.
Harun Arrasyid mengendalikan daulatnya dengan sebaik-baiknya, sehingga pemerintahannya menjadi tolok ukur oleh bangsa-bangsa sepanjang zaman. Banyak sekali riwayat dan ceritera di kalangan orang yang membuktikan kejayaan masa pemerintahannya. Diantaranya ialah dongeng ‘1001 malam’ yang terkenal itu. Ia selalu lapang dada, ia sangat santun dan kasih kepada para ulama, filosuf dan pujangga yang datang ke Baghdad dari segala penjuru dunia.
Masa itu didirikan pabrik-pabrik, gedung-gedung tempat penelitian perbintangan (Meteorolisch Observatorium), sekolah-sekolah dan lain-lain. Sehingga kota Baghdad ketika itu menjadi pusat ilmu pengetahuan, kebudayaan dan perniagaan dimuka bumi ini.
Tidak ada istana kaisarpun yang seramai istana Khalifah Harun Arrasyid yang dipenuhi oleh para ulama, ahli hukum, pujangga, pengarang, penyanyi, seniman dan lain-lain dari berbagai macam golongan. Sekalian mereka juga mengadakan kerja sama dengan Khalifah Harun Arrasyid. Iapun seorang penyir dan ahli riwayat. Dia seorang yang budiman, mulia, disegani, dihormati, dicintai dan ditakuti oleh rakyatnya, dari tingkatan yang paling tinggi sampai yang paling rendah.
Diantara Khalifah-khalifah Abbasiyah hanya Harun Arrasyidlah yang pernah berjalan kaki sepanjang jalan beserta pengiringnya guna menunaikan ibadah haji di tanah suci. Peristiwa ini dipandang oleh ahli sejarah sebagai suatu perbuatan yang sangat utama dalam sejaran kepemimpinannya. Di tanah suci dia membelanjakan harta kekayaannya untuk menegakkan berbagai amal kebaikan dan kebutuhan umum, sedang permaisurinya Ratu Zubaidah tidak sedikit mengeluarkan uangnya untuk penggalian mata air yang dialirkan ke kota Makkah. Sampai kini mata air itu masih ada, bernama: ‘Mata air Zubaidah’.
Pada tanggal 3 Jumada-tsaniah 193 H. (24 Maret 809 M.) Khalifah Harun Arrasyid wafat di markas tentaranya di Tarsus, dalam usia 47 tahun, setelah memerintah 23 tahun 2 bulah 18 hari. Sebelum wafatnya ia telah mengangkat tiga orang puteranya menjadi Amir dalam kerajaan. Kepada Muhammad Al-Amin diserahinya daulatnya bagian Barat. Kepada Abdulalh al-Makmun diserahinya memerintah Persia. Kepada Kasim diserahinya memerintah wilayah Armenia dan Aljazirah. Putera Al-Amin diangkat menjadi Putera Mahkota Pertama, sedangkan Abdullah Al-Makmun walaupun lebih tua dijadikan Putera Mahkota Kedua yang akan menjadi Khalifah setelah Al-Amin.
6- AL-AMIN DAN AL-MAKMUN
(193 – 218 H. = 809 – 833 M.)
Setelah wafatnya Harun Arrasyid, Muhammad Al-Amin dilantik sebagai penggantinya.
Al-Amin menyerahkan sekalian urusan daulatnya kepada wazirnya Fadhal bin Rabi’. Dia ini dikenal pandai memfitnah dan memperburuk orang lain. Dia dahulunya yang menghasut Harun Arrasyid untuk menggulingkan keluarga Barmak dan dia pula yang memutuskan hubungan antara adik dan kakak yaitu Al-Amin dan Al-Makmun.
Perbuatan yang mula-mula dilakukanya utnuk menimbulkan sengketa antara kedua bersaudara itu, ialah menyerahkan sekalian harta peniggalan di markas tentara Rasyid di Tarsus, kepada Al-Amin, menurut wasiat Rasyid harta itu harus diserahkan kepada Al-Makmun semuanya. Ia juga menghasut Al-Amin membatalkan baiat Al-Makmun menjadi putera mahkota kedua, dan mengangkat Ishak putera Al-Amin sebagai penggantinya. Inilah pangkal sengketa.
Lantaran hasutan Fadhal bin Rabi’ itu, Al-Amin berani melanggar perjanjian yang telah diikrarkannya pada masa hidup Harun Arrasyid. Perbuatan Al-Amin yang sedemikian itu, menimbulkan amarah orang Khurrasan dan penduduk kota-kota besar lainnya, sebab Al-Makmun mereka cintai lantaran kesalihan dan budinya.
Al-Makmun wafat pada 19 Rajab 218 H. (10 Agustus 833 M.) di Tarsus, ketika laskarnya sedang berperang dengan melawan tentara Byzantium. Ia wafat pada usia 48 tahun dan masa pemerintahannya 20 tahun 5 bulan 24 hari. Sebelum wafat ia telah berwasiat bahwa yang akan menggantikan dia ialah saudaranya Abu Ishak Muhammad al-Mu’tashim bin Rasyid.
7- AL-MU’TASHIM DAN AL-WATSIQ
(218 – 232 H. = 833 – 847 M.)
Di zaman Khalifah Muhammad Al-Mu’tashim terjadi banyak perselisihan faham keagamaan. Perbedaan antara para ulama Islam sering terjadi dimana-mana. Namun hal ini seakan-akan disukai oleh Al-Mu’tashim.
(227 H. = 842 M.)
Al-Mu’tashim wafat pada tanggal 18 Rabi’ul Awwal 227 H. (4 Pebruari 842 M.) sesudah ia menanamkan bibit kerusakan di bumi Daulat Abbasiyah, yaitu dengan memberikan kekuasaan kepada bangsa Turki yang akan menimbulkan pelbagai bencana di kemudian hari atas diri Daulat Bani Abbas.
Ia digantikan oleh puteranya Harun Al-Watsiq Billah. Khalifah ini meneladani ayahandanya yang memberikan keutamaan atas bangsa Turki. Pada zamannya kaum Khawarij di Hijaz dan bangsa Kurdi di Mosul menyatakan keluar dari kekuasaan Abbasiyah. Kekacauan juga banyak terjadi di tanah Arab, maka muncullah tuntutan di Baghdad agar Al-Watsiq turun tahta.
Walaupun ia tidak dapat mengamankan daerah Daulat Islam, namun ia dipuji lantaran kecintaannya dan kegiatannya memajukan ilmu pengetahuan. Di zamannya lahir beberapa orang ahli ilmu dan pujangga yang kenamaan. Diistananya sendiri diadaka suatu majlis istimewa untuk membahas dan mendiskusika beberapa persoalan agama dan negara.
Pada 24 Dzulhijjah 232 H. (11 Agustus 847 M.) Khalifah Harun Al-Watsiq Billah wafat pada usia 36 tahun, setelah memerintah selama 5 tahun 8 bulan 6 hari. Bersamaan dengan wafatnya berakhir pula zaman keemasan yang gemilang, zaman kebesaran, zaman kejayaan Daulat Bani Abbas dan mulai memasuki masa kelemahan dan keruntuhan Daulat itu, karena pengaruh budak-budak belian bangsa Turki. Walaupun masih terdapat 26 Khalifah lagi setelah itu namun kebesrannya sudah surut.
Sebab-sebab Runtuhnya Abbasiah
1. Mengutamakan bangsa Asing dari bangsa Arab.
Keluarga Abbasiyah memberikan pangkat dan jabatan negeri yang penting-penting dan tinggi-tinggi, baik sipil maupun militer, kepada bangsa Persia. Mereka sebagian besar diangkat menjadi wazir, panglima tentara, wali (gubernur), hakim dan lain-lain. Oleh karena itu bangsa Arab membenci Khalifah-khalifah tersebut dan menjauhkan diri daripadanya.
2. Dendam atas keluarga Bani Umayyah dan permusuhan atas Alawyyin.
Dendam keluarga Abbasiyah menindas dan menganiaya keluarga Bani Umayyah serta perbuatan mereka memusuhi kaum Alawiyyin menambah amarah dalam hati mereka.
Keluarga Abbasiyah melakukan siasatnya yang demikian, mengakibatkan kerugian atas diri mereka sendiri. Mereka lupa bahwa berdirinya Daulat mereka juga atas bantuan dan pengorbanan besar kaum Alawiyyin dalam menjatuhkan kekuasaan Bani Umayyah.
Akibat dari permusuhan kedua keluarga besar itu, yaitu Abbasiyah dan Alawiyyin, timbulnya huru-hara dan pemberontakan hampir di seluruh pelosok negeri Islam.
3. Terpengaruh perselisihan paham agama.
Beberapa orang Khalifah Abbasiyah seperti Al-Makmun, Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq, sangat terpengaruh oleh bid’ah-bid’ah, perselisihan madzhab dan aliran filsafat. Hal ini menimbulkan benih perpecahan menjadi beberapa partai dan golongan. Hal ini yang menjauhkan kaum Ulama dari mereka.
4. Rapuhnya Sistim bernegara
Diantara Khalifah Bani Abbas masih ada yang memberlakukan sistim bernegara yang sangat buruk, seperti mengangkat dua Putera Mahkota, yang juga dilakukan oleh khalifah-khalifah Bani Umayyah. Hal ini yang menimbulkan banyak sengketa dan bencana yang tidak habis-habisnya dalam lingkungan kerajaan.
5. Bencana Bangsa Turki
Diantara mereka terlalu mempercayai bangsa Turki yang selalu bercita-cita hendak merebut kekuasaan Khalifah, sehingga Daulat Abbasiyah menjadi medan percaturan dan pengkhianatan serta fitnah. Hal ini yang semula dilakukan oleh Al-Mu’tashim Billah.
Sangat besar bahaya bangsa Turki itu adas Daulat Bani Abbasiyah. Beberapa oang Khalifah jatuh menjadi korban mereka. Tiang tua dan segala persendian Daulat Abbasiyah rusak binasa olehnya. Kekacauan timbul dimana-mana, sedang dari Khalifah sendiripun menjadi permainan tangang-tangan panglima-panglima Turki. Perselisihan antara tentara dan rakyat sering terjadi. Permusuhan yang terjadi antara panglima-panglima Turkipun juga menambah buruknya suasana Khlilafah.
Kelemahan pemerintah pusat di Baghdad itu menjadi peluang yang empuk bagi para pimpinan wilayah untuk memutuskan dari Khilafah di pusat, mereka mendirikan kerajaan sendiri-sendiri, sehingga pada masa itu bediri kerajaan-kerajaan kecil (imarat) dalam lingkup Daulat itu sendiri.
DAULAT-DAULAT LAIN YANG BERDIRI DI ZAMAN DAULAT ABBASIYAH
Pengaruh daulat-daulat kecil yang berdiri sendiri:
Semenjak masa kejayaan Daulat Bani Abbas maupun masa kemundurannya banyak berdiri Daulat-daulat yang memisahkan diri dari Daulat Bani Abbas.
Berdirinya beberapa daulat kecil itu, walaupun tampaknya menjadi alamat kelemahan Daulat Bani Abbas, tetapi pengaruhnya besar juga untuk kemajuan dunia Islam. Karena dengan demikian lahir juga beberapa kota besar yang menjadi pusat ilmu pengetahuan, yang menyaingi kota-kota Abbasiyah, seperti Kordoba (Cordova), al-Qahirah (Kairo), dan Bukhara. Kalau dahulunya kota Baghdad megah sendirinya sebagai pusat peradaban dan pengetahuan, maka kota-kota itupun juga menjadi kiblat para ulama dan pujangga.
A. Di Masa Jayanya
Ketika Daulat Bani Abbas masih kuat dan jaya beberapa daulat berdiri, yaitu:
1. Daulat Bani Umayyah di Andalus.
Didirikan oleh Amir Abdurrahman Ad-Dakhil bin Mu’awiyah bin Hisyam pada tahun 138 H. (575 M.), yaitu ketika Daulat Bani Abbasiyah masih muda, ia melarikan diri ke Andalus untuk menyelamatkan jiwanya dari ancaman Bani Abbas. Setibanya di Andalus ia dinobatkan menjadi Amir (raja).
2. Daulat Bani Idris di Maroko (172-311 H. = 788-923 M.).
Didirikan oleh Idris bin Abdullah, seorang keturunan Ali bin Abi Talib, di zaman Khalifah Harun Arrasyid.
3. Daulat Bani Aghlab di Tunis (184-296 H. = 800-908 M.).
Didirikan oleh Ibrahim bin Aghlab sebagai hadiah dari Harun Arrasyid kepada keluarga Bani Aghlab.
4. Daulat Tahiriyah di Khurrasan (205-259 H. = 820-872 M.).
Didirikan di zaman Khalifah Al-Makmun oleh panglimanya yang perkasa Thahir bin Husein, sebagai hadiah dari Khalifah atas jasa
B. Di Masa Lemahnya
Ketika Daulat Abbasiyah memasuki masa kemundurannya, yaitu dimasa Khalifah-khalifahnya tidak berpengaruh lagi, diwaktu kekuasaan dipegang oleh Amir-amir bangsa Turki, makin banyak daerah-daerah yang hendak melepaskan diri dari Daulat Abbasiyah.
Di Mesir:
1. Daulat Bani Toulon pada tahun (254-292 H. = 868-905 M.).
2. Daulat Bani Ikhsyid pada tahun (323-358 H. = 935-969 M.).
3. Daulat Fathimiyyah pada tahun 358 H. = 969 M.
Di Persia dan Turkistan:
1. Daulat Bani Safar (254 – 290 H. = 868 – 903 M.).
Daulat ini didirikan oleh Ya’kub bin Laits As-Safary sebagai tandingan Daulat Bani Thahir di Khurrasan, di zaman Al-Mu’taz bin Al-Mutawakkil Khalifah Abbasiyah yang ketiga belas. Mulanya tidak ada minat bagi Ya’kub untuk melepaskan diri dari Daulat Abbasiyah. Baginya cukuplah kalau ia dijadikan Amir saja oleh Khalifah Khurrasan, agar ia dapat menaklukkan negeri-negeri yang dibawahi oleh Bani Thahir. Akan tetapi setelah ia dijadikan Amir saja oleh Khalifah di Khurrasan, agar ia dapat menaklukkan Persia, bahkan sampai hendak menaklukkan daerah-daerah Khalifah sendiri.
Maksud itu tercapanya di Persia, tapi khalifah tidak bisa ditundukkan, bahkan laskarnya sendiri dihancurkan oleh tentara Khalifah Al-Mu’tamid, Khalifah Abbasiyah yang kelima belas, dan ia sendiri terpaksa mundur sampai ke Persia. Daulat ini hanya berusia 36 tahun.
2. Daulat Bani Saman (261 – 389 H. = 874 – 999 M.).
Daulat ini didirikan oleh Isma’il bin Saman, berasal dari kalangan bangsawan yang dimuliakan di Persia. Ia mulai berpengaruh dalam Daulat Abbasiyah di zaman Khalifah Al-Makmun, sehingga ia diangkat menjadi wali Turkistan. Ketika Daulat Abbasiyah memasuki masa kemundurannya, pada masa Khalifah Al-Mu’tamid, Nasru bin Akhmad cucu Saman melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad lalu mendirikan kerajaan merdeka. Daulat Samaniyah ini dapat menaklukkan daerah-daerah yang semula dikuasai oleh Daulat Safariyah.
Jasa para Amir Bani Saman sangat besar dalam memajukan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, khususnya kebudayaan Persia. Di zaman mereka lahir beberapa ulama yang mengarang beberapa buku pengetahuan seperti ilmu kedokteran, ilmu falak dan filsafat. Ibnu Sina seorang filosuf Islam itu mengakui bahwa perpustakaan di Bukhara ibukota Bani Samaniyah, penuh dengan buku-buku pengetahuan yang tidak ternilai harganya. Ia menyaksikan sendiri ketika ia berziarah ke negeri tersebut.
3. Daulat Bani Buaihi (334 – 447 H. = 945 – 1055 M.).
Daulat ini didirikan oleh tiga orang putera Buaihi, yaitu Ali, Hasan dan Akhmad, ketiga-tiganya memimpin negeri Dailam. Mereka mulai muncul dalam politik pada abad keempat Hijrah. Mereka mengabdi pada seorang panglima Dailam yang mempunyai pengaruh besar di negeri-negeri pesisir laut Kaspia dan di tanah Persia. Ketiga-tiganya disayangi oleh penglima itu sehingga mereka memperoleh kekuasaan memerintah di tanah-tanah sebelah Selatan Persia dan sebelah Timur Irak.
Ketika timbul huru-hara di Bahdad, Khalifah Abbasiyah XXII Al-Mustakfi minta bantuan kepada tiga orang putera Buaihi itu. Permintaan Khalifah itu dikabulkan mereka dan mereka segera datang ke Baghdad, disambut oleh Khalifah dengan segala kehormatan, lalu diserahi memegang kendali pemerintahan. Kepada Ali diberi gelar ‘Imaduddaulah’, kepada Hasan ‘Ruknud Daulah’ dan kepada Akhmad ‘Mu’izzud Daulah’. Nama gelar mereka masuk dalam cap mata uang. Maka dengan demikian kekuasaan mereka sangat besar di kota Baghdad. Ditangan mereka terletak segala perintah dan larangan, sedangkan Khalifah hanya tinggal nama saja. Hal ini dilakukan juga untu menjaga kehormatan dan martabat Khalifah dan kedudukan para pembesarnya agar mereka tidak jatuh, walaupun memang tidak berkuasa lagi.
Putera Buaihi yang semula memperoleh kekuasaan ialah ‘Mu’izaud Daulah’ Akhmad bin Buaihi, putera bungsu. Dimasanya timbul permusuhan antara tentara Dailam dan laskar Turki, dan perselisihan antara Ahlussunnah dan Syi’ah, sehingga kota Baghdad dan beberapa kota di tanah Persia telah menjadi medan huru-hara dan permusuhan.
Kelemahan Daulat Bani Abbas ini digunakan oleh orang-orang Byzantium untuk merebut kembali daerah-daerah mereka yang telah hilang di Asia Kecil (bagian Barat Mesopotamia) dan di Al-Jazirah, bahkan mereka sampai menyeberangi sungai Euphrat dan mengancam kota Baghdad.
Lebih satu abad lamanya keluarga Buaihi memegang kekuasaan di Irak Al-jazirah, Persia dan pesisir laut Kaspia.
4. Daulat Ghaznawiyah (351 – 582 H. = 962 – 1186 M.).
5. Daulat Hamdaniyah (317 – 394 H. = 929 – 1003 M.).
6. Daulat Bani Saljuk (447 – 965 H. = 1055 – 1258 M.)Source : http://darunnajah-cipining.com/sejarah-dunia-islam-daulah-bani-abbasiyah/